Scroll Untuk Lanjut Membaca

Infocelebes.com Makassar – Kasus kematian seorang prajurit muda TNI di lingkungan Batalyon Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) kembali mengguncang publik. Kematian tragis ini menimbulkan dugaan kuat adanya praktik kekerasan di dalam barak yang selama ini kerap dipertanyakan transparansinya.

Korban, Prada Rezki Putra Pratama, yang tengah menempuh Latorlan militer dilaporkan tumbang saat mengikuti lari siang pada Jumat, 24 Januari 2025. Mengutip pernyataan orang tua korban bahwa dirinya ditelpon oleh Danyon Arhanud 4/AAY, yang menyampaikan bahwa anak mereka meninggal dunia, awalnya korban pingsan pada saat lari putaran kedua dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Ibnu Sina, namun nyawanya tak tertolong..

Klaim resmi itu tak serta merta dipercaya keluarga. Autopsi yang dilakukan di RS Bhayangkara Makassar justru memunculkan fakta medis yang mencengangkan, terdapat luka lebam di pelipis, wajah robek, leher patah, tulang bergeser, pencernaan hancur, jantung robek sepanjang 4 cm, serta pembuluh darah pecah.

Hasil ini jelas bertolak belakang dengan narasi bahwa korban hanya “jatuh pingsan” saat lari siang.

Dalam konferensi pers di rumah duka, Perumahan Griya Mawang Indah, Jalan Jeruk, Kelurahan Romang Polong, Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa (29/8/25), ibunda korban, Jumiany, dengan suara bergetar menegaskan bahwa anaknya meninggal bukan karena sebab alamiah.

“Anakku sehat, dia sering telepon saya. Tidak pernah sakit. Tiba-tiba dikabarkan meninggal karena pingsan. Tapi tubuhnya penuh luka. Kalau hanya jatuh, tidak mungkin kondisinya begitu parah,” ucapnya.

Jumiany menolak segala bentuk manipulasi fakta dan mendesak agar kasus ini diusut secara transparan tanpa intervensi pihak manapun. Ia juga mengapresiasi keberanian tim medis yang telah membuka hasil autopsi secara jujur.

“Kami menuntut keadilan. Jangan sampai kasus ini ditutupi. Anak saya adalah korban, dan pelaku harus dihukum seberat-beratnya,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyampaikan harapannya agar kematian putranya menjadi yang terakhir.
“Saya tidak mau ada lagi ibu-ibu lain yang menangis seperti saya. Semoga kasus anak saya jadi pelajaran, supaya tidak ada lagi korban berikutnya di barak TNI,” ucapnya penuh haru.

Di mata keluarganya, Prada Rezki bukan sekadar prajurit muda TNI yang gugur dalam tugas. Ia adalah anak penyayang yang kerap menelpon ibunya meski sedang sibuk menjalani pendidikan militer.

“Anakku tidak pernah lupa bertanya apakah saya sudah makan atau butuh sesuatu. Dia anak yang penyayang,” kenang Jumiany.

Sejak kecil, Rezki bercita-cita menjadi tentara. Ia sering bermain layaknya prajurit dengan teman-teman sebaya di kampungnya. Tekadnya semakin bulat ketika diterima mengikuti pendidikan di Arhanud.

“Dia selalu bilang, ‘Ma, saya mau bikin mama bangga. Saya akan jadi tentara yang baik, yang jujur, dan tidak menyusahkan orang,’” ujar ibunya, menahan tangis.

Namun, cita-cita itu kini tinggal kenangan. Rezki yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarga justru pulang dalam peti jenazah dengan tubuh penuh luka.

Pemerhati Sosial, M. Jufri, menilai kasus ini harus menjadi momentum bagi TNI untuk membuka diri terhadap mekanisme hukum yang lebih transparan. Ia menekankan, praktik kekerasan di barak tidak bisa lagi ditoleransi dengan dalih pembinaan disiplin.

“Kalau hasil autopsi sudah sejelas ini, tidak boleh ada upaya menutup-nutupi. Kematian prajurit muda ini harus diusut secara terbuka, bukan hanya di lingkaran peradilan militer. Jika ada tindak pidana penganiayaan, maka harus diproses sesuai hukum pidana umum,” tegas Jufri.

Ia juga mendesak pemerintah dan lembaga independen untuk ikut mengawal kasus ini agar keluarga korban mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.

Kasus ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan di lingkungan pendidikan militer. Para pengamat menilai, budaya kekerasan berbasis senioritas yang dibiarkan berlarut-larut justru mencederai wibawa TNI dan merugikan keluarga besar prajurit sendiri.

Publik kini menanti langkah tegas dari institusi TNI untuk mengusut kasus ini hingga tuntas, bukan sekadar menjaga citra, melainkan demi memastikan bahwa barak tidak lagi menjadi ruang kematian bagi prajurit muda. (*)

\ Get the latest news /